Aku menghembuskan nafasku dengan pelan. Sepelan rindu yang mulai menghadirkan kenangan. Kenangan yang selalu menari dengan indahnya di pikiranku. Waktu tak mampu menghapus kenangan-kenangan tersebut meski setiap hari selalu ada kenangan baru. Cerita baru tak mampu untuk aku melupakanmu. Sungguh sulit aku melupakan sahabat sepertimu.
Aku mengamati potret-potret usang dari sebuah album tua. Entah mengapa, bulir-bulir bening selalu berhasil keluar dari sarangnya. Tak pernah aku bosan membuka album yang terkadang berselimut debu ini. Di sana tersembunyi seribu cerita yang bernama sejarah persahabatan kita.
Aku, kamu dan Christian bagai awan dan langit, saling melengkapi. Tak terlupakan pertama kali kita bertemu. Di sini. Di Rumah Indonesia. Visi yang kita miliki menyatukan kita bertiga. Tiga anak muda nekad yang bermodalkan visi dan passion untuk membangun pendidikan di pedalaman.
“Kenapa kamu ingin gabung di @Rumah_Indonesia ?” tanyaku sebagai founder ketika mewawancaraimu sewaktu perekrutan volunteer.
“Saya orang Indonesia meski berdarah Tionghoa dan Thailand! Sebagai orang Indonesia, saya ingin melakukan sesuatu bagi Indonesia,” jawabmu dengan penuh kepercayaan diri.
“Ok! Saya tidak menemukan alasan untuk menolak kamu bergabung di @Rumah_Indonesia .”
Untuk pertama kalinya, aku melihat senyuman itu. Senyuman yang penuh semangat. Senyuman yang meluluhkan kelelahan setelah hampir sehariaan menunggu. Menunggu anak muda yang ingin mengabdi bagi pendidikan Indonesia. Setelah berjam-jam menunggu kamu orang pertama yang datang mendaftar untuk bergabung.
Tidak lama setelah kehadiranmu, @BumiDinasty muncul dan mendaftarkan diri. Selanjutnya hanya kita bertiga yang menjalankan @Rumah_Indonesia . Dengan segala keterbatasan kita menyusuri pedalaman Sulawesi Barat.
Aku manatap Bumi dan Christian yang tertidur terlelap dengan hanya beralaskan koran bekas dan tumpukan baju di gubuk tua yang hanya berukuran 5×1,5 meter. Masih terngiang pembicaraan antara aku dengan kalian berdua sebelum terlelap. Terlelap di malam yang gelap tanpa listrik di pedalaman Sulawesi Barat.
“Orang-orang di kota harusnya bersyukur kalau listrik padam,” ucapmu spontan sambil menikmati ubi rebus.
“Kenapa?” tanya Bumi dengan penuh keheranan.
“Dalam kegelapan mereka bisa belajar, hidup mereka penuh kemewahan. Bandingkan dengan di sini yang bertahun-tahun bahkan sejak mereka lahir tidak ada listrik di kampung mereka,” jawabmu dengan penuh semangat.
Aku hanya tersenyum. Lalu hening. Bisu. Diam.
“Kita sikat gigi pakai garam ya?”
Kamu menatapku dengan kebingungan.
“Odolnya habis. Di sini ngga ada yang jual. Harus turun gunung saat hari pasar kalau mau menikmati odol,” ujarku menjelaskan
“Ow.”
“Begini caranya…” ucapku lalu mengambil garam dengan telunjuk tanganku dan menggosokkannya ke gigiku.
“Asin!”
Bumi tertawa ketika mendengar ucapanmu. Aku ikut tersenyum meski hatiku perih.
“Yah iyalah masa manis,” kata Bumi ditengah tawanya.
“Dewantara! Badan Christian panas,” teriak Bumi bingung ketika tanpa sengaja menyentuh tubuh Christian. “Christian sakit!”
Aku langsung menghampirimu. “Christian?” tanyaku dalam kepanikan.
Tidak ada jawaban yang keluar dari bibirmu yang merah. Dahimu berkerut dan bibirmu mendesah menahan sakit.
Sementara di luar gubuk, gerimis mulai turun.
Tubuh Christian kedinginan. Tidak ada jaket atau selimut. Aku dan Bumi berusaha menghangatkan tubuhmu dengan menempelkan beberapa baju ke seluruh tubuhmu.
“Kita ke dokter ya?” usulku, meski aku sendiri tidak yakin mendapat pertolongan tanpa uang yang cukup. Apa lagi ini di atas gunung.
Aku semakin bingung ketika kamu tidak menjawab. Kamu hanya mengerang dengan mata tertutp rapat.
Tanpa berpikir panjang, aku menggendong tubuhmu dan membawamu turun ke kaki gunung. Entah kenapa aku takut kehilangan dirimu. Bukan hanya aku, tapi Bumi juga. Sepanjang perjalanan mulutnya tak berhenti mengucapkan doa. Meski baru empat bulan kita saling mengenal tapi rasanya sudah seperti saudara sendiri. Rasanya seperti terjalin ikatan batin yang kuat diantara kita bertiga.
Sehari tanpa ocehanmu rasanya ada yang aneh. Pertanyaan-pertanyaan sering terlontar dari mulutmu hingga kadang aku kewalahan menjawabnya.
“Maaf, dek. Dokternya lagi ke kota. Mungkin seminggu lagi baru pulang!”
Aku mencoba kuat mendengar penjelasan tetangga sang Dokter yang sudah tiga tahun mengabdi di kampung tersebut.
Aku kebingungan!
“Nginap di rumah saya saja, dek. Besok kalian ke kota kecamatan saja. Di sana ada puskesmas,” sarannya dengan logat daerah yang kental.
Tak ada pilihan lain selain harus menunggu besok pagi.
Pada akhirnya aku dan Bumi terpaksa memutuskan membawamu pulang ke Jakarta untuk berobat.
Aku terdiam. Bumi terdiam.
“Hasil pemeriksaan menyatakan kalau dia positif HIV.”
Aku berdiri seperti patung.
Saat itu aku baru menyadari, kenapa tidak ada satu pun keluargamu yang mau menerimamu. Astaga! Aku dan Bumi tidak peduli HIV yang bersarang di tubuhmu karena kenakalan masa lalumu yang memakai narkoba. Bukankah kita semua memiliki masa lalu.
“Happy birthday to you … Happy birthday…Happy birthday….Happy birthday to you…..”
Aku dan Bumi menyanyikan lagu tersebut. Antara senang dan haru.
Tubuhmu yang mengurus setelah hampir dua tahun di rawat, tak menyurutkan pesona senyumanmu yang penuh semangat.
“Terima kasih! Thx Tara. Thx Bumi!” ucapmu pelan. Air matamu jatuh.
Itulah ucapan terakhir yang bisa kamu ucapkan! Ucapan yang terngiang-ngiang hingga kini. Setalah aku dan Bumi merayakan ulang tahunmu, kamu koma hampir enam bulan sebelum menghembuskan nafas terakhirmu.
Setiap hari…. Aku dan Bumi menjengukmu. Selalu berharap kita bertiga bisa seperti yang dulu. Tertawa bersama. menelusuri pedalaman bersama. Namun Tuhan punya rencana.
Terima kasih, sahabat. Mengenalmu adalah anugerah dan kepergianmu adalah inspirasi.
*******
Dan kini aku hanya melantunkan lagu ciptaanmu….
Sometimes life is very hard to predict.
Often incomprehensible matters would blast into it.
Even though we’re holding hands, abruptly we would have to say farewell.
Tears .. were never dried.
Often incomprehensible matters would blast into it.
Even though we’re holding hands, abruptly we would have to say farewell.
Tears .. were never dried.
Still remembers our past with every minute.
Notes of the affections we had were kept in the heart.
It’s like your voice is resounding here,
at every passing moments,
There isn’t a day that I don’t miss you.
Notes of the affections we had were kept in the heart.
It’s like your voice is resounding here,
at every passing moments,
There isn’t a day that I don’t miss you.
Whenever, I’m also not lonely even though we don’t meet,
Because we talk to each other always in our hearts.
Shutting the eyes everytime, there’re still your image and former smiles.
I can hear our songs, every tune were never lost.
Because we talk to each other always in our hearts.
Shutting the eyes everytime, there’re still your image and former smiles.
I can hear our songs, every tune were never lost.
Thoughts of you, getting to meet,
To whisper, telling you to have faith,
For there will not be any matter, any image of you, that would fade away.
To whisper, telling you to have faith,
For there will not be any matter, any image of you, that would fade away.
Days and nights passed by, beyond the point to turn back the time.
Tomorrow I don’t know what I would have to encounter.
I knew only that you’re here with me at every passing moment.
Tomorrow I don’t know what I would have to encounter.
I knew only that you’re here with me at every passing moment.
I won’t accept having any day without missing you.
Whenever, I’m also not lonely even though we don’t meet,
Because we talk to each other always in our hearts.
Whenever, I’m also not lonely even though we don’t meet,
Because we talk to each other always in our hearts.
Shutting the eyes everytime, there’re still your image and former smiles.
I can hear our songs, every tune were never lost.
I can hear our songs, every tune were never lost.
Thoughts of you, getting to meet,
To whisper, telling you to have faith,
For there will not be any matter, any image of you, that would fade away.
Any day, my heart would be like before.
To whisper, telling you to have faith,
For there will not be any matter, any image of you, that would fade away.
Any day, my heart would be like before.
pendapat saya dari cerita ini adalah yang namanya sahabat tidak memandang bulu, apa dia orang kaya, miskin, orang luar, orang kampung. yang namanya sahabat itu adalah dapat memahami sahabat kita sedang sedih atau senang. bila sahabat kita sedang sedih kita harus menghibur dia, tetapi bila sedang senang kita pun harus ikut senang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar